Jumat, 10 Januari 2014

Statistik sebagai Pilar Penentu Arah Kebijakan Pembangunan Bangsa


If you torture the data long enough, it will confess.

–Ronald Coase

Beberapa waktu lalu kami dari Pergerakan Indonesia berkunjung ke Kulon Progo menghadiri acara syukuran panen cabai merah di lahan pasir. Setelah acara selesai, kami mengunjungi salah satu markas kelompok tani. Pengurus kelompok tani membeberkan data time series perkembangan harga cabai yang sangat rinci. Pengurus kelompok tani ini meminta masukan bagaimana menghadapi fluktuasi harga cabai yang sangat tajam sebagaimana tercermin pada data yang dibeberkannya. Para petani di Kulon Progo sangat sulit menyimpulkan data tersebut, apakah dari waktu ke waktu harga cabai di sana semakin berfluktuasi, seberapa besar fluktuasinya, dan bagaimana cara menyikapinya.

Sebetulnya mereka sudah tergolong sangat maju karena berhasil menciptakan pasar lelang. Pedagang dari kota tak lagi leluasa berhubungan langsung dengan setiap petani. Mereka “mengadu” para pedagang kota untuk menawarkan harga lebih tinggi. Pedagang yang menawar harga paling tinggilah yang bisa membeli hasil panen cabai merah petani di sana.


Seandainya para petani bisa mengolah data harga yang mereka catat dan kumpulkan sendiri, mereka bakal lebih memahami perilaku harga cabai di pasar lelang lokal. Mereka sangat boleh jadi juga memiliki data perkembangan jumlah pedagang peserta lelang serta data produksi. Dengan data yang semakin lengkap, para petani yang telah berhasil membangun kekuatan kolektif dan kelembagaan pasar, walaupun sangat sederhana, bisa memperkokoh kekuatan kolektifnya menghadapi para pedagang.

Statistik dan statistika akan sangat membantu mereka. Dengan statistika mereka bisa mengolah data, melakukan analisis kecenderungan pergerakan berbagai variabel, mengetahui perilaku hubungan antara produksi dan harga, dan melakukan prediksi atau proyeksi. Dari sini mereka bisa bertindak lebih jauh, misalnya mengelola stok atau mengolah sebagian hasil panen menjadi sambal botol atau cabai kering. Jika keekonomian skala (economies of scale) belum tercapai, mereka bisa merangkul kelompok tani di daerah tetangga dan memperbesar skala pasar lelang dan bagian produksi yang diolah. Dengan cara begitu fluktuasi harga bisa ditekan.


Petani di Kulon Progo sudah memiliki kearifan lokal. Tidak ada yang memberi tahu atau membimbing mereka menciptakan pasar lelang.[2] Tidak ada yang menyuruh mereka mencatat hasil produksi dan harga setiap transaksi lelang. Mereka belajar dari pengalaman dan menggunakan naluri (instinct). Seandainya mereka dapat sentuhan ilmu statistik (statistika), bisa diharapkan nasib mereka bakal lebih baik. Mereka lebih memiliki kepastian berapa pendapatan yang bakal mereka peroleh. Mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga harga agar tidak mengalami volatilitas tajam. Lebih baik lagi jika mereka memiliki akses perkembangan harga pasar cabai di kota dekat lokasi mereka hingga di tingkat nasional maupun internasional. Teknologi informasi yang telah masuk desa sungguh akan sangat membantu. Hampir seluruh proses tersebut terkait dengan statistik.


Data yang dikumpulkan secara sistematik dan diolah sesuai dengan kaidah umum statistika sehingga memiliki nilai informasi yang memadai bisa pula digunakan pemerintah (pemerintah daerah maupun pemerintah pusat) untuk membantu nasib petani menghadapi kaum kapitalis/pedagang kota sehingga setara dalam level of playing field. Pemerintah daerah bisa berperan sebagai pelindung dan pendorong petani agar kekuatan yang berserakan selama ini terhimpun menjadi suatu kekuatan kolektif menghadapi kaum kapitalis kota. Kebijakan pemerintah daerah akan lebih efektif dan tepat sasaran seandainya memiliki data yang lengkap dan akurat. Di sinilah peran statistik menjadi sangat vital. Jika data yang dikumpulkan tidak akurat dan serampangan serta diolah tanpa mengindahkan kaidah-kaidah statistika, maka kebijakan yang dirumuskan pun akan mandul, bahkan bisa kontraproduktif.


***

Di tingkat nasional kita memiliki pelajaran berharga terkait dengan kebijakan daging sapi. Betapa mahal ongkos ekonomi yang harus dibayar akibat kebijakan kuota yang tidak dilandasi oleh data akurat. Bagaimana mungkin penetapan kuota akan mampu meredam kenaikan harga kalau pemerintah tidak memiliki data akurat tentang populasi sapi dan tingkat konsumsi daging sapi. Kementerian Pertanian sejak Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid I telah mencanangkan swasembada daging sapi. Namun, setelah hampir sepuluh tahun berjalan, bukannya Indonesia semakin mendekati swasembada, melainkan semakin lebar kesenjangan antara permintaan dan penawaran di dalam negeri. Harga pasar merupakan indikator yang paling bisa mencerminkan kesenjangan itu. Boleh jadi ada faktor lain yang menambah keruh pasar daging sapi, semisal praktik kartel atau praktik persaingan usaha tidak sehat lainnya.


Ternyata benar adanya. Sensus Pertanian 2013 menunjukkan populasi sapi dan kerbau bukannya naik, tetapi justru turun drastis. Selama kurun waktu 1 Juni 2011 sampai dengan 1 Mei 2013, populasi sapi dan kerbau turun sebanyak 2,5 juta ekor, dari 16,7 juta ekor hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) menjadi 14,2 juta ekor berdasarkan Sensus Pertanian 2013.[3] Karena perkiraan pasokan dalam negeri kebesaran (overestimate), maka penetapan jumlah kouta daging sapi lebih kecil dari yang seharusnya bisa meredam kenaikan harga. Akibatnya, terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang relatif besar untuk kurun waktu cukup lama. Jika kita hitung nilai surplus konsumen (consumer surplus) yang menciut berdasarkan selisih antara harga domestik dan harga internasional dan asumsi konsumsi daging sapi per kapita 1,9 kilogram, nilai kerugian konsumen sekitar Rp 21,9 triliun.[4]

Satu contoh kebijakan daging sapi saja sudah menimbulkan beban bagi konsumen puluhan triliun rupiah. Padahal, kebijakan yang menimbulkan praktik pemburuan rente (rent seeking) dengan menggunakan instrumen kuota tidaklah sedikit dan ironisnya menyangkut kebutuhan rakyat banyak seperti bawang putih, gula pasir, dan kedelai. Dengan dalih melindungi produsen dalam negeri, pemerintah memilih instrumen yang mengedepankan mekanisme non-harga seperti kuota yang membutuhkan prasyarat akurasi data.[5] Jika pemerintah memilih kebijakan yang menekankan pada mekanisme harga seperti tarif bea masuk, maka persyaratan akurasi data tidak perlu terlalu ketat. Oleh karena itu, sepatutnyalah pemerintah lebih mengandalkan BPS untuk memformulasikan kebijakan-kebijakan yang menggunakan instrumen non-harga jika ingin memberikan hasil yang efektif.


Untuk itu BPS perlu mempersiapkan langkah agar sigap seandainya pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya membutuhkan uluran tangan BPS. Akan lebih baik lagi apabila BPS mempertajam rencana kerja ke depan berdasarkan antisiapasi atas persoalan-persoalan yang berpotensi sangat merugikan perekonomian nasional serta peluang-peluang yang terbuka lebar bagi percepatan kemajuan Bangsa ke depan.

***

Pada kesempatan yang berharga ini, perkenankan saya menyampaikan satu contoh ancaman dan satu contoh lagi berupa peluang yang mana BPS dan para statistisi diharapkan terpacu untuk menggelutinya.


Yang berupa ancaman adalah kecenderungan distribusi pendapatan (income distribution) dan ketimpangan (inequality) semakin memburuk. Menurut perhitungan BPS, sejak tahun 2011 Indeks Gini sudah menembus 0,4 dan dalam tiga tahun terakhir bertengger di aras 0,41.[6]

Pemburukan Indeks Gini sejalan dengan data distribusi pendapatan. Sejak empat tahun silam, kelompok pendapatan 20 persen tertinggi (top 20%) menikmati peningkatan porsi pendapatan nasional terus menerus, dari 41,24 persen tahun 2009 menjadi 49,04 persen. Sebaliknya, pada periode yang sama, kelompok pendapatan 40 persen termiskin (bottom 40%) dan kelompok 40 persen menengah (middle 40%) mengalami penurunan, masing-masing dari 21,22 persen menjadi 16,87 persen dan dari 37,54 persen menjadi 34,09 persen.

Data di atas berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). BPS terus memperbaiki kualitas Susenas, baik jumlah sampel maupun cakupan jenis barang dan jasa. Sebelum tahun 2007 sampel hanya 10.000 rumah tangga, lalu menjadi 68.800 rumah tangga dan sejak tahun 2012 menjadi 75.000 rumah tangga. Namun, kelemahan mendasarnya tetap melekat, karena indikator yang digunakan untuk menghitung Indeks Gini dan distribusi pendapatan bukanlah data pendapatan, melainkan data pengeluaran. Padahal, data pengeluaran antara orang kaya dan orang miskin cenderung jauh lebih konvergen ketimbang data pendapatan.

Ada beberapa indikasi angka ketimpangan dan distribusi pendapatan berdasarkan data pengeluaran tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, antara lain:

1. Konsumsi per kapita berdasarkan data Susenas dikalikan dengan jumlah penduduk menghasilkan konsumsi nasional yang lebih rendah ketimbang data konsumsi rumah tangga versi Produk Domestik Bruto.

2. Pola pertumbuhan ekonomi semakin timpang antara sektor nontradable dan sektor tradable. Sejak tahun 2004 pertumbuhan sektor nontradable dua kali lipat lebih tinggi dari pertumbuhan sektor tradable. Sektor nontradable, khususnya jasa modern, menyerap relatif sedikit tenaga kerja dan pada umumnya adalah tenaga kerja berpendidikan SLTA ke atas. Padahal, jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas hanya 39,11 persen pada Februari 2013. Pola pertumbuhan ekonomi yang semakin senjang antara sektor non-tradable dan sektor tradable menambah keyakinan bahwa kelompok kaya maju lebih cepat ketimbang kelompok miskin.

3. Lebih dari separuh (54 persen) pekerja berstatus pekerja informal dan 38 persen sebagai pekerja tanpa kontrak.[7] Sebanyak 92 persen pekerja tersebut kehidupannya sangat rentan karena tanpa dinaungi oleh sistem jaminan sosial.

4. Pertumbuhan penjualan mobil semakin tinggi. Hanya dalam waktu enam tahun (2006-2012), penjualan mobil naik 3,5 kali lipat.[8]

5. Pusat perbelanjaan mewah bertaburan di kota-kota besar. Juga komplek perumahan dan apartemen mewah.

6. Distribusi pemilikan deposito dan pelanggan listrik PLN.

Jumlah orang kaya di Indonesia meningkat terus, bahkan kian banyak yang masuk ke jajaran orang terkaya di dunia. Sementara itu, penurunan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin melambat. Oleh karena itu, cukup beralasan jika di kalangan masyarakat umum meyakini ketimpangan pendapatan lebih buruk ketimbang yang digambarkan oleh angka Indeks Gini. Boleh jadi ketimpangan di Indonesia sudah masuk ke zona “buruk” dengan Indeks Gini di atas 0,5.

Dengan Indeks Gini yang dipandang masih moderat, pemerintah cenderung abai untuk mengoreksi kebijakan pembangunan yang menjadi biang keladinya. Sebaliknya, jika data statistik resmi tentang ketimpangan kian dipandang sebagai anomali atau semakin tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, kepercayaan kepada BPS khususnya dan pemerintah umumnya bisa memudar. Padahal, kondisi ketimpangan yang memburuk merupakan benih keresahan dan ketegangan sosial yang pada gilirannya bisa memicu krisis kehidupan berbangsa.

<
Ketimbang mereka-reka, sangat membantu jika BPS mulai mengambil inisiatif menghitung Indeks Gini berdasarkan pendapatan. Dengan mengetahui keadaan yang mendekati kenyataan, diharapkan pemerintah lebih bersungguh-sungguh mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kredibilitas BPS pun terangkat.

***

Indonesia memiliki potensi lebih dari cukup untuk menjadi negara besar serta menyejahterakan rakyatnya dan berkeadilan, asalkan sadar akan jatidiri sebagai negara maritim. Dengan gugusan lebih dari 17.000 pulau dan bentangan lautan yang dua kali lebih luas dari daratan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia.

Laut merupakan pemersatu, bukan pemisah pulau-pulau. Lautlah yang mengintegrasikan penduduk di berbagai pulau yang membentuk zamrud khatulistiwa dengan tiga zona waktu. Secara politik kita telah terintegrasi, namun secara ekonomi masih tercerai berai. Salah satu indikator perekonomian suatu negara terintegrasi adalah disparitas harga antardaerah yang rendah.

Di website BPS tercantum publikasi Asean Community Progress Monitoring System untuk menunjukkan seberapa jauh perkembangan proses integrasi ekonomi Asean yang ditempuh dengan memperkokoh konektivitas dalam tiga hal:

1. Physical connectivity: Transport, Information and Communications Technology (ICT), Energy

2. Institutional connectivity: Trade liberalisation and facilitation, Investment and services liberalisation and facilitation, Mutual recognition agreements/arrangements, Regional transport agreements, Cross-border procedures, Capacity building programmes

3. People-to-people connectivity: Education and Culture, Tourism

Hampir semua indikator yang ditampilkan dalam publikasi itu menunjukkan Asean semakin terintegrasi. Salah satu indikator yang digunakan adalah disparitas harga. Alangkah ironisnya jika Indonesia semakin jauh terintegrasi dengan Asean, bahkan dengan dunia, tetapi perekonomian di dalam negeri tetap saja tercerai-berai atau mengalami disintegrasi. Beberapa penelitian menunjukkan indikasi demikian. Alangkah bernilai jika BPS dan komunitas statistik juga mengembangkan indikator sejenis seperti yang diterapkan untuk Asean. BPS sudah memiliki database yang memadai untuk memulai upaya ini.

Data yang juga sangat dibutuhkan adalah yang terkait dengan logistik (logistics). Kalau Bank Dunia memiliki Logistics Performance Index (LPI) lintas negara, alangkah elok jika BPS pun memiliki LPI intra-Indonesia beserta informasi ongkos angkutan laut. BPS selama ini secara “tak sadar” terseret gelombang bias darat. Sudah saatnya BPS turut aktif mengampanyekan Indonesia sebagai negara maritim dengan cara semakin banyak menyajikan data dan informasi kemaritiman dalam artian luas.

***

Betapa besar tantangan yang dihadapi komunitas ilmuwan statistik untuk membawa negeri ini ke arah yang benar, lebih baik, dan berkelanjutan. Tantangan semakin besar karena terjadi perubahan struktur kegiatan ekonomi dan perilaku masyarakat yang cepat, sehingga menuntut BPS lebih sigap dan cekatan menyesuaikan diri.

Statistik didedikasikan untuk semua, untuk kemanusiaan. Tak boleh ada celah bagi intervensi pihak lain yang memiliki kepentingan sempit dan jangka pendek. Oleh karena itu independensi harus betul-betul dijaga. Modal dasar ilmuwan statistik adalah integritas dan kredibilitas. Melakukan sesuatu secara benar dengan cara yang bisa dipercaya dan hasilnya bisa diandalkan, serta diyakini (tak diragukan) oleh khalayak pengguna.[9]

Tugas dan tanggung jawab utama BPS adalah mengumpulkan dan mengolah data. Lakukanlah tugas itu dengan sebaik-baiknya. Jagalah integritas dan kredibilitas BPS dan para ilmuwannya. Jangan terjangkit demam pengamat yang kerap berspekulasi. Sedapat mungkin hindari menyampaikan prediksi, apalagi menjelang diumumkan.

Saya tercenung membaca dua running text Bloomberg TV Indonesia kira-kira seminggu sebelum pengumuman resmi BPS 1 Oktober 2013. Yang pertama menayangkan perkiraan BI bakal terjadi deflasi, lalu diikuti perkiraan BPS bakal terjadi inflasi. Masyarakat bisa dibuat bingung oleh dua pernyataan yang bertolak belakang tersebut.

Nuansa spekutalif memang tampak dari penjelasan Kepala BPS yang dikutip media massa: “September kemungkinan terjadinya inflasi masih ada, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan Agustus,” ujar dia saat ditemui dalam acara “Dialog BPS Mengenai Data BPS Untuk Mencerdaskan Bangsa” di Swiss Bell Hotel, Jakarta, Rabu (25/9).”[10]

BPS juga tidak perlu menganalisis data terlalu jauh. Apalagi kalau analisisnya ceroboh seperti contoh berikut:

“Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.” (Kompas, 8 Februari 2011).

Tak ada teori ekonomi mainstream menyatakan demikian. Kenyataan pun tidak begitu. Porsi konsumsi rumah tangga di negara-negara yang jauh lebih maju dari Indonesia justru lebih tinggi, misalnya Amerika Serikat 72 persen, Inggris 66 persen, Jepang 60 persen, dan Jerman 58 persen. Sebaliknya, Bhutan dengan PDB per kapita lebih rendah dari Indonesia tetapi porsi konsumsi rumah tangganya juga lebih rendah, hanya 41 persen.[11]

Teramat banyak fenomena kehidupan yang belum diketahui dan teka teki yang belum tersibakkan. Ilmu yang telah diketahui oleh umat manusia sangat terbatas, sangat sedikit (Qur’an 17:85). Tugas kita, terutama kaum terpelajar, adalah terus membaca alam sekitar, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam Qur’an 96:1, ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kira senantiasa berupaya keras menyibakkan rahasia alam semesta semampu kita dengan ilmu pengetahuan, dengan ilmu statistik yang kita miliki dan terus dalami sampai akhir hayat nanti.

Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan keteratuan dan pola, menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (Qur’an 25:2 dan Qur’an 55:49). Statistik berupaya untuk menemukenali pola keteraturan dari ciptaan Tuhan dengan presisi setinggi mungkin, seakurat mungkin. Akumulasi pengetahuan kita kebanyakan adalah tentang keberadaan masa lalu dan masa kini. Itu pun hanya sedikit. Apatah lagi tentang masa depan. Semakin panjang dan jauh penerawangan kita ke depan, semakin samar-samar bayangan yang bakal terjadi atau bahkan kita tidak tahu sama sekali.

Upaya para ilmuwan untuk membayangkan masa depan yang bakal terjadi dengan menggunakan teknik proyeksi yang paling canggih sekalipun sebetulnya berpijak pada pengenalan terhadap faktor-faktor yang telah diketahui di masa lalu dan masa kini: “Diketahui telah Diketahui”. Di luar itu para ilmuwan dan peneliti memperlakukannya sebagai givens, sebagai bagian dari kondisi ceteris paribus.”[12]

Menurut Kuntjoro-Jakti, selebihnya kita menghadapi dunia ketidakpastian dengan segala risikonya: Tidak diketahui telah diketahui; Diketahui tidak diketahui; dan Tidak diketahui sama sekali (unknows). Ilmuwan atau peneliti yang melakukan proyeksi ke depan sebenarnya hanya merupakan the future of the past atau paling banter the future of the present. Sedangkan the future of the future boleh dikatakan masih merupakan misteri (unknowns).

Betapa sangat sedikit yang telah kita ketahui tentang fonemena masa lalu dan masa kini, apalagi masa depan. Semakin jauh kita mengarungi samudera ilmu, semakin terasa kita seperti setitik air di lautan luas. >

Dengan selalu merendahkan diri dan sadar akan segala kekurangan, siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah, insya Allah keberadaan kita bakal menaburkan kebaikan di muka bumi (rahmatan lil ‘alamin). Semoga ilmu yang kita gali memberikan maslahat bagi orang banyak dan kejayaan Negeri.
*****

[1] Makalah dipersiapkan untuk pidato ilmiah pada Wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) XVI, Kampus STIS, Jakarta, 10 Oktober 2013.

[2] Petani Cabai Kulon Progo praktis tak pernah memperoleh sentuhan pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat terendah. Bahkan aparat daerah menjaga jarak karena sungkan dengan Raja mereka yang konon memiliki tanah yang digarap petani. Raja punya rencana lain mengusahakan pertambangan bijih besi bekerja sama dengan investor luar negeri.

[3] Badan Pusat Statistik, “Berita Resmi Statistik,” No. 62/09/Th. XVI, 2 September 2013.

[4] Faisal Basri, “Darurat Korupsi,” Kompas, 1 Februari 2013, halaman 15.

[5] Berbeda halnya jika pemerintah memilih instrumen kebijakan harga seperti pengenaan tarif bea masuk yang membuat penyesuaian lewat mekanisme pasar berlangsung lebih mulus sehingga mengurangi piuh (distorsi) dalam perekonomian.

[6] Ketimpangan tergolong rendah jika indeks atau koefisien gini di bawah 0,4, moderat jika berada di kisaran 0,4-05, dan buruk jika di atas 0,5.

[7] Data diperoleh dari presentasi Shubham Chaudhuri dari kantor Bank Dunia Jakarta pada Diskusi Panel Ekonomi Kompas, 21 Juni 2012.

[8] Faisal Basri, “Masalah Struktural Perdagangan Luar Negeri,” Kompas, 7 Oktober 2013, hal. 15.

[9] Lihat Zachary N. Russ, “Preserving the Integrity of Statistics: Students and Novice Researchers Need Guidance on How and When to Use This Essential Tool,” Genetic Engineering & Biotechnology News, Vol. 29, No. 19, November 1, 2009.

[10] “Ketua BPS: Inflasi September Jauh Lebih Rendah dari Agustus,” beritasatu.com, 25 September 2012, yang diunduh dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/140494-ketua-bps-inflasi-september-jauh-lebih-rendah-dari-agustus.html

[11] Data diperoleh dari Bank Dunia, “World Development Indicators.” Untuk Amerika Serikat, Jepang, dan Bhutan data tahun 2011, untuk Jerman dan Inggris data tahun 2012.

[12] Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ”Menerawang Indonesia pada Dasawarsa Ketiga Abad Ke-21,” Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012: 106-109.

Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/10/10/statistik-sebagai-pilar-penentu-arah-kebijakan-pembangunan-bangsa1-600125.html

Tidak ada komentar: